Siang malam ku selalu
menatap layar terpaku untuk online-online-online-online. Lagunya sehpuji,
eh saykoji.
Bait lagu mengisahkan bangun tidur sampai tidur lagi, hanya
melihat ponsel. Mantengin sosmed dan segala keramaian yang ada disana
Internet dan media social itu tidak bisa dipisahkan. Ibarat makan
baso memang mesti pakai mangkuk gambar ayam jago. Kitapun jadi tipikal yang
gila notification. Baik itu notif orang nagih hutang sampai orang mau ngutang.
Balas komentar sayang-sayangan sampai adu peka lewat status. Sudahlah akui
saja. Perilaku kita mengecek notif memang telah jadi kelainan tersendiri. Kalau
tidak ada notif? Paket datamu habis.
Bila sudah hobi mengecek ponsel dan keranjingan sosmed/scroll kebawah lihat beranda atau feed. Berarti itu adalah sebuah tanda
kecanduan sosmed. Layaknya kecanduan-kecanduan lainnya, ketergantungan sosmed
akan mempengaruhi kehidupan nyata sehari-hari. Pada berikutnya mengarah
kehal-hal yang negative.
Bermedia social boleh, tapi ada batasnya. Layaknya makan
baso tadi, kalau banyak-banyakkan bisa kolestrol tinggi. Keranjingan sosmed
hanya akan meniadakan produktivitas saja.
Pada tingkat yang agak parah, seseorang bisa terjangkit yang
disebut dengan Fear of Missing Out (FoMO). Sebuah kondisi dimana seseorang
takut dibilang kudet, kurang update dan takut ketinggalan berita viral. Mereka amat
bahagia dengan pemberitahuan, menjadi penonton story, baca komentar dan apapun
itu digawainya.
Menurut kajian di university Inggris sana, FoMO adalah kondisi yang bisa menyebabkan seseorang berperilaku diluar batas kewajaran dimedia social. Orang yang sudah mengidap FoMO cenderung gampang cemas, tidak nyaman dan gelisah bila tidak mengkonsumsi segala berita di medsos. Tambahan lagi, mereka sering posting meme, tulisan, caption yang belum tentu sesuai realita biar terkesan update. Tambahan lagi, seseorang yang penasaran, siapa yang sudah melihat story dan siapa yang sudah like atau komentar postingan juga merupakan gejala sakit FoMo.
Pada tingkat yang lebih lanjut lagi, Pengidap FoMO sering
curhat di medsos. Sudah buramlah mana yang mesti dikonsumsi untuk orang banyak,
mana yang mesti diselesaikan lewat diskusi internal dia sendiri. Adu
singgung-singgungan status dan lainya yang males saya jelasin disini. Orang
dengan gangguan mental seperti FoMo ini memang buta hal bersifat rahasia dan
privat. Alhasil, kita sudah pada era tak karuan amburadulnya kata-kata kotor di
beranda sosmed.
Kecemasan dan rasa takut akan menggangu mental dan fisik pasien
FoMO. Mood berkurang dan kesehatan jadinya kacau. Akhirnya ya jadi manusia tidak
produktif.
Pertanyaannya. Sudah seberapa FoMO kamu? Mudah-mudahan saja
kita selalu dilindungi dari hal buruk-buruk dalam bermedia sosial. Karena hidup yang sesungguhnya bukan bernyawa
di Internet dan medsos. Meski beberapa orang memang banyak yang bernyawa
kasana. Misalnya, admin medsos sebuah produk bisa juga para endors sebuah
merek. Kan mereka dapat duit dari sana. Kan mereka memanfaatkan medsos untuk
produktif.
Selesai.
No comments:
Post a Comment
Komentarlah yang sopan. Tidak mengandung SARA, link aktif, serta mengandung unsur spam