31 October 2020

Kecanduan Media Sosial itu Fear of Missing Out

 



Siang malam ku selalu menatap layar terpaku untuk online-online-online-online. Lagunya sehpuji, eh saykoji.

 

Bait lagu mengisahkan bangun tidur sampai tidur lagi, hanya melihat ponsel. Mantengin sosmed dan segala keramaian yang ada disana

 

Internet dan media social itu tidak bisa dipisahkan. Ibarat makan baso memang mesti pakai mangkuk gambar ayam jago. Kitapun jadi tipikal yang gila notification. Baik itu notif orang nagih hutang sampai orang mau ngutang. Balas komentar sayang-sayangan sampai adu peka lewat status. Sudahlah akui saja. Perilaku kita mengecek notif memang telah jadi kelainan tersendiri. Kalau tidak ada notif? Paket datamu habis.

 

Bila sudah hobi mengecek ponsel dan keranjingan sosmed/scroll kebawah lihat beranda atau feed. Berarti itu adalah sebuah tanda kecanduan sosmed. Layaknya kecanduan-kecanduan lainnya, ketergantungan sosmed akan mempengaruhi kehidupan nyata sehari-hari. Pada berikutnya mengarah kehal-hal yang negative.

 

Bermedia social boleh, tapi ada batasnya. Layaknya makan baso tadi, kalau banyak-banyakkan bisa kolestrol tinggi. Keranjingan sosmed hanya akan meniadakan produktivitas saja.

Pada tingkat yang agak parah, seseorang bisa terjangkit yang disebut dengan Fear of Missing Out (FoMO). Sebuah kondisi dimana seseorang takut dibilang kudet, kurang update dan takut ketinggalan berita viral. Mereka amat bahagia dengan pemberitahuan, menjadi penonton story, baca komentar dan apapun itu digawainya.

 

Menurut kajian di university Inggris sana, FoMO adalah kondisi yang bisa menyebabkan seseorang berperilaku diluar batas kewajaran dimedia social. Orang yang sudah mengidap FoMO cenderung gampang cemas, tidak nyaman dan gelisah bila tidak mengkonsumsi segala berita di medsos. Tambahan lagi, mereka sering posting meme, tulisan, caption yang belum tentu sesuai realita biar terkesan update. Tambahan lagi, seseorang yang penasaran, siapa yang sudah melihat story dan siapa yang sudah like atau komentar postingan juga merupakan gejala sakit FoMo.  


Pada tingkat yang lebih lanjut lagi, Pengidap FoMO sering curhat di medsos. Sudah buramlah mana yang mesti dikonsumsi untuk orang banyak, mana yang mesti diselesaikan lewat diskusi internal dia sendiri. Adu singgung-singgungan status dan lainya yang males saya jelasin disini. Orang dengan gangguan mental seperti FoMo ini memang buta hal bersifat rahasia dan privat. Alhasil, kita sudah pada era tak karuan amburadulnya kata-kata kotor di beranda sosmed.

 

Kecemasan dan rasa takut akan menggangu mental dan fisik pasien FoMO. Mood berkurang dan kesehatan jadinya kacau. Akhirnya ya jadi manusia tidak produktif.

 

Pertanyaannya. Sudah seberapa FoMO kamu? Mudah-mudahan saja kita selalu dilindungi dari hal buruk-buruk dalam bermedia sosial.  Karena hidup yang sesungguhnya bukan bernyawa di Internet dan medsos. Meski beberapa orang memang banyak yang bernyawa kasana. Misalnya, admin medsos sebuah produk bisa juga para endors sebuah merek. Kan mereka dapat duit dari sana. Kan mereka memanfaatkan medsos untuk produktif.

 

Selesai.


No comments:

Post a Comment

Komentarlah yang sopan. Tidak mengandung SARA, link aktif, serta mengandung unsur spam